* * *
GRESIK - Gresik, tepatnya di Kampung Kemasan memang serasa lorong waktu yang membawa
pengunjung ke era puluhan tahun silam. Bangunan-bangunan kuno berjejer
di kiri-kanan gang perkampungan. Gaya arsitekturnya unik. Lain daripada
yang lain. Rasanya, bangunan itu seolah diabadikan oleh waktu.
Setidaknya ada empat coak yang melekat pada bangunan-bangunan
tersebut. Yakni, Jawa, Arab, Tiongkok, dan Belanda. Bata berwarna merah
marun mendominasi pagar dan tembok di bagian depan. ’’Ini menggambarkan
akulturasi (percampuran) budaya yang terjadi saat itu,” kata Oemar
Zaenuddin Seperti dikutip dari harian cetak Jawa Pos, Minggu (31/8).
Sebagai ’’penjaga” Kampung Kemasan, Pak Nud –sapaan karib Oemar
Zaenuddin– sangat familier di lingkungan itu. Maklum, lelaki 74 tahun
tersebut termasuk bagian dari keluarga besar Haji Djaenuddin. Mulai
1894, keluarga Haji Djaenuddin menjadi konglomerat di Gresik karena
bisnisnya dalam pabrik pengolahan kulit. Pabrik itu terletak di Jalan
Stasiun (kini Jalan KH Kholil).
’’Saya adalah generasi ketiga. Jadi, saya merasa bertanggung jawab untuk memeliharanya,” ujar pria berkacamata tersebut.
Pak Nud mengatakan, Haji Djaenuddin kali pertama membangun rumah dua
lantai di kampung itu sekitar 1890. Seiring kejayaan pabriknya, Haji
Djaenuddin terus membangun. Di Kampung Kemasan, ada enam rumah yang
dibangun. Semuanya memiliki motif arsitektur yang serupa. Yaitu,
kombinasi Arab, Tiongkok, Jawa, dan Belanda.
Namun, di luar Kampung Kemasan, ada sekitar 16 unit rumah yang
tersebar di kawasan Gresik kota tua. ’’Banyak yang sudah beralih tangan.
Sebab, banyak yang dijual,” tuturnya.
Corak Belanda terlihat pada pilar-pilar jendelanya yang lebar dan
panjang. Di atas jendela, selalu ada hiasan bermotif bunga yang
melengkung. Sedangkan lantai keramiknya dibuat dengan warna mencolok
khas Tiongkok. Kesan Arab terlihat pada dinding yang dibuat melengkung
seperti pada masjid.
Ciri lain, setiap rumah juga selalu memiliki lorong di bagian
samping. Lorong tersebut menjadi penyambung antara rumah satu dan rumah
lain. Itu dimaksudkan agar tali persaudaraan antarkeluarga sedarah tetap
terjalin kuat. ’’Saya merawat rumah seperti momong cucu. Memang harus
telaten,” kelakar kakek 12 cucu tersebut lalu terkekeh.
Mengapa disebut Kampung Kemasan? Oemar mengisahkan bahwa kampung itu
kali pertama dihuni seorang perajin emas asal Tiongkok. Dia bernama Bak
Lie Ong. Sejak 1850, Bak Lie Ong membangun rumah di kawasan itu. Namun,
karena termakan usia, kini bangunan tersebut rapuh dan ditumbuhi ilalang
di atapnya. ’’Nah, itulah sebabnya kampung ini disebut Kampung
Kemasan,” tuturnya.
Oemar Zainuddin memang sosok yang bertanggung jawab dengan
peninggalan leluhurnya. Selain menjadi ’’penjaga” keaslian Kampung
Kemasan, kakek 12 cucu itu masih setiap menyimpan peninggalan lain.
Yaitu, dokumen lawas berupa surat dagang milik Haji Djaenuddin.
Jumlahnya sampai 500 lembar. Hingga kini, lembaran surat itu masih
tersimpan rapi dalam amplop-amplop lengkap dengan prangkonya. Dokumen
tersebut asli tulisan tangan Djaenuddin yang ditujukan kepada
rekan-rekan bisnis di berbagai Pulau Jawa.
Keberadaan surat itu membuat seorang kolektor asing kepincut. Pada
2011 Pak Nud ditawari seorang kolektor asal Prancis. Harganya pun sangat
fantastis, yakni Rp 1,5 miliar. Namun, lelaki berkacamata itu mengaku
tidak tergiur untuk menjualnya.
Selain Pak Nud, ada nama lain, yaitu Syamsuddin Noer. Syamsuddin
adalah keturunan ketiga dari Haji Djaelan, kakak kandung Haji
Djaenuddin.
Arsitektur Gajah Mungkur dibuat sendiri oleh Haji Djaelan. Ide bangunannya muncul karena yang bersangkutan memiliki pergaulan luas di berbagai kota.
Konon, pada 1926, Pakubuwono X, raja Keraton Solo, datang ke Gresik. Raja Solo ke-10 itu pun terkagum-kagum. Dia meminta dibuatkan satu bangunan yang sama dengan Gajah Mungkur. Hingga kini, perwujudan bangunan yang sama bisa ditemukan di Jalan Slamet Riyadi, Kota Solo. ’’Mereka memang sahabat karib. Sampai-sampai kakek saya diberi satu selir oleh Pakubuwono X,” tutur pria 78 tahun itu.
Gresik Kota Lama memang menyimpan banyak bangunan kuno yang masuk cagar budaya. Berdasar data yang dihimpun dari dinas pekerjaan umum (PU), terdapat 370 bangunan kuno. Namun, hanya 124 bangunan yang masih layak. Selebihnya, banyak bangunan yang rusak karena usia. Pihaknya berharap Pemkab Gresik berperan aktif melindungi bangunan-bangunan kuno. ’’Tentu kami sangat prihatin. Ini adalah aset Gresik yang harus dirawat pemerintah,” kata alumnus Pondok Modern Gontor itu.
Sebab, hanya gedung-gedung itulah yang berfungsi sebagai jendela waktu dalam menengok masa lalu kota santri tersebut
sumber : http://www.jawapos.com/baca/artikel/6529/Merawat-Rumah-Kuno-seperti-Momong-Cucu |Umar Wirahadi
Komentar
Posting Komentar