HALAMAN rumah bercat putih itu terlihat ramai oleh belasan anak muda
Selasa sore (14/4). Mereka tampil dalam balutan kostum yang beragam. Ada
yang terlihat norak dengan make-up tebal. Ada pula yang berdandan sederhana dan terkesan ndeso. Itu yang perempuan.
Di kelompok laki-laki, ada yang tampil seperti bapak-bapak dengan
kumis melintang. Ada pula yang seperti pegawai kantoran dengan rambut
klimis dan dasi di leher. Dengan pede, satu per satu maju
bergantian di depan sorot lampu kamera yang telah siaga. Dialog pun
dibacakan. Yang bertindak sebagai pengarah atau sutradara segera
bersuara memotong adegan jika ada kekeliruan. Intonasi suara dan mimik
pun diperbaiki.
’’Ini hanya latihan rutin,” kata Irfan Akbar saat ditemui di kompleks Perumahan Green Hill, Kedanyang, Kebomas.
Irfan termasuk salah seorang penggagas Gresik Movie (GM) yang berdiri
pada 28 Oktober 2011 tersebut. Selama berkiprah, komunitas itu
terbilang produktif menghasilkan karya berupa film-film pendek. Genre
film pun beragam. Menariknya, karya-karya yang dihasilkan terinspirasi
dari struktur budaya dan kondisi lingkungan masyarakat Kabupaten Gresik.
’’Film harus menyatu dengan akar budaya masyarakat. Karena kami
berbasis di Gresik, kisah yang diangkat masih bersifat lokal,” tuturnya.
Pada awal kemunculannya, Gresik Movie langsung menggebrak dengan film perdana berjudul Suporter 13.
Film semidokumenter itu berkisah tentang kelompok suporter Ultrasmania,
sebutan suporter fanatik Persegres. Suporter 13 bermakna bahwa suporter
yang bersorak-sorai dari pinggir lapangan adalah pemain ke-13 yang
mendukung kemenangan klub.
Sebagai komunitas independen, menggarap film perdana itu terasa tidak
mudah. Butuh waktu panjang dan biaya yang tidak sedikit. Mereka pun
pontang-panting mengatur waktu. Salah satunya dengan aktif mengikuti
jadwal pertandingan Gresik United, nama Persegres kala itu. Mereka juga
harus menggali sejarah berdirinya klub yang kala itu bernama Petrokimia
Putra Gresik. Mantan pemain yang pernah membawa nama harum klub juga
diburu sebagai narasumber. Termasuk Widodo Cahyono Putro.
Penggarapan film tuntas dua tahun kemudian. Film berdurasi sekitar
satu jam itu dirilis bersamaan dengan perayaan ulang tahun Ultras pada 5
November 2013. ’’Film itu seolah menjadi medan pengabdian agar
keberadaan kami diakui masyarakat Gresik,” papar Ananda Sandi, anggota
GM lain.
Di luar dugaan, film tersebut mengundang apresiasi banyak pihak. Saat
itu juga, 350 keping CD yang dicetak habis terjual. Yang mereka
banggakan, puluhan keping CD film dikirim atas permintaan suporter
Ultras di Malaysia yang merantau menjadi TKI.
’’Katanya, banyak TKI yang tertarik setelah membaca beritanya di berita online. Ada rasa bangga karena karya kami dihargai,’’ tutur Irfan.
Gresik Movie tidak terbentuk secara kebetulan. Pertengahan 2011,
Irfan dan delapan rekannya baru lulus kuliah di Airlangga Broadcast
Education (ABE) Surabaya. Sembilan berkawan itu menyatakan prihatin atas
situasi di Kota Santri. Jiwa seni mereka tergugah karena minimnya media
hiburan sebagai wadah kreativitas para pemuda. ’’Termasuk, bioskop kan belum ada,’’ ujar Sandi menceletuk, lalu tertawa.
Lekat dengan dunia film, Irfan cs pun termotivasi untuk membentuk
wadah bernama Gresik Movie. Dunia film sengaja dipilih karena bisa
menjadi media edukasi yang paling efektif untuk pencerdasan masyarakat.
Kru yang terlibat dibagi sesuai dengan minat dan spesialisasi. Mulai sutradara, produser, aktor, tim art,
penulis naskah, juru kamera, dan editor. ’’Membuat film adalah kerja
tim sehingga masing-masing harus kompak sesuai dengan perannya,’’ ujar
Danang Ari, anggota GM yang lain.
Kesuksesan film perdana tidak lantas membuat Gresik Movie puas.
Mereka terus berkarya. Oktober 2012, dibuat proyek ambisius bernama
Mengintip Gresik. Dalam proyek itu, mereka merilis empat film pendek
awal 2013. Salah satunya berjudul Kanti.
Film tersebut berkisah tentang kehidupan gadis bernama Kanti yang
bekerja sebagai penjaga warung kopi. Namun, masyarakat mencibirnya.
Sebab, perempuan itu dikenal sebagai penjaga warung kopi pangku. Ada
pergulatan batin dalam diri tokoh tersebut. Apakah berhenti bekerja
sebagai penjual kopi atau takluk oleh rasan-rasan warga setempat.
Maklum, perempuan Gresik yang bekerja di warung kopi, apalagi dikenal
sebagai warung kopi pangku, dipastikan dicap buruk oleh lingkungan.
’’Film ini sindiran bahwa jangan cepat menilai seseorang hanya karena
pekerjaannya,’’ tutur Danang.
Film lain berjudul Buruh. Film itu mengisahkan Gresik
sebagai kota industri. Memang banyak warga lokal yang ditampung sebagai
pekerja industri, namun sebatas menjadi buruh. Melalui film tersebut,
diharapkan warga Gresik naik tingkat di atas buruh.
Akhir 2013, muncul lagi program bernama Sekolah Bawah Pohon (SBP).
Melalui kegiatan tersebut, Gresik Movie bermaksud meluaskan peran.
Yaitu, menjaring bakat seniman muda Gresik dalam dunia perfilman. Karena
itu, dibentuklah pendidikan atau diklat bernama SPB. Setiap SPB
digulirkan, anak muda atau kalangan remaja terbilang antusias. Setiap
angkatan diikuti 17–25 orang. Saat ini sudah memasuki angkatan kelima.
Peserta berhak mengikuti pendidikan tentang seluk-beluk dunia film.
Selama tiga bulan, berbagai materi perfilman disampaikan dalam forum.
Setelah teori cukup, praktik pun dilaksanakan. Peserta dibagi dalam tim
untuk membuat film-film pendek. Mulai sutradara, aktor, penulis naskah,
kamerawan, hingga editor.
Nah, hasil garapan ’’siswa’’ lantas dipentaskan sebagai layar tancap.
’’Sebelum film pentas, kami sebar undangan supaya banyak penonton.
Setelah itu, didiskusikan bersama-sama untuk perbaikan,’’ jelas Syayyid
Ali, koordinator Sekolah Bawah Pohon.
Road show juga dilakukan hingga ke Pulau Bawean. Tidak
disangka, kata Syayyid, anak muda kepulauan sangat girang. Bahkan,
mereka diuntungkan dari sisi keindahan alam. Peserta SBP pun berhasil
membuat film pendek yang menggambarkan keindahan alam Pulau Bawean. Film
tersebut ditayangkan di Gedung Nasional Indonesia (GNI) Gresik, 20 Juni
2014. ’’Penontonnya banyak. Gedung GNI sampai penuh. Jadi, film sangat
penting sebagai media promosi daerah,’’ tuturnya.
Itulah cara Gresik Movie menyebarkan ’’virus’’ kreatif kepada
anak-anak muda. Para peserta pun mengikuti dengan antusias. Bahkan,
tidak sedikit alumnus SBP yang menularkan semangat yang sama ke
lingkungan sekitar.
Bukan itu saja. Baru-baru ini, awal 2015, komunitas dengan moto Dari Layar, Kami Ciptakan Dunia Baru itu membuat program baru bernama Ayo Dolen nang Gresik.
Program itu berisi film-film yang mengangkat kekayaan serta potensi
alam Kota Giri. Mulai Bukit Jamur yang sedang menjadi tren, Pantai
Delegan, Bukit Suci, hingga perayaan Nyepi di Bongsowetan, Menganti.
Praktis, yang ditampilkan adalah keindahan dan keunikan Gresik.
’’Tetapi, selalu dibumbui narasi kisah sehingga tetap menarik
ditonton,’’ tuturnya.
Hingga kini, belum ada pihak ketiga atau donatur yang men-support
dari sisi pendanaan. Pemerintah Kabupaten Gresik melalui dinas
kebudayaan, pariwisata, kepemudaan, dan olahraga (disbudparpora) pun
terkesan kurang responsif. ’’Bukan tidak mampu secara ide, tetapi murni
karena dana yang belum mendukung,’’ ungkap pemuda kelahiran 14 Agustus
1991 itu.
Keterbatasan dana tidak menghalangi arek-arek Gresik Movie
untuk produktif berkarya. Toh, dengan biaya seadanya, kini mereka telah
merilis 23 film independen. Bahkan, untuk mengurangi biaya produksi,
peran kru harus dirangkap-rangkap. Tidak jarang, kru yang menjabat
sutradara harus merangkap aktor, juru kamera, serta editor.
Pelan-pelan, kreativitas Gresik Movie kini mulai diakui pihak luar.
Pada 2 Desember lalu, Gresik Movie diundang dalam ajang Jogja-NETPAC
Asian Film Festival di Jogjakarta. Dalam acara yang bertujuan
mengembangkan perfilman Asia itu, hanya empat komunitas film independen
dari Indonesia yang diundang. Yaitu, Gresik, Jogjakarta, Aceh, dan Palu.
Dalam forum tersebut, anggota komunitas diberi panggung untuk
menyampaikan materi seputar perkembangan film independen di Jawa Timur
dan Gresik pada khususnya. ’’Ini tentu semakin melecut semangat kami
untuk terus berkarya,’’ tandas Irfan
sumber : www.jawapos.com/baca/artikel/15831/kisah-ultrasmania-bikin-tki-di-malaysia-kepincut
Jawa Pos Kamis 16 April 2015
Komentar
Posting Komentar